Everyone wear somekind of underwear
Even Indians wear underwear
Even Cubans wear undeerwear
The Pope wears underwear, I hope
The governor of Lousiana wears underwear
I saw him on tv
He must have had tight underwear
He squirmed a lot
Puisi berjudul Underwewar yang lucu dan sedikit kasar itu dibacakan oleh Lawrence Ferlinghetti di sebuah kafe di Greenwich Village, New York, pada 1958. Ferlinghetti adalah salah seorang sastrawan Beat Generation atau yang dikenal dengan Beatniks. Jack Kerouac dan Allen Ginsberg adalah sastrawan Beatniks lainnya.
Tidak seperti gerakan pemberontakan generasi muda Amerika yang diwakili oleh hippies pada dasawarsa 1960-an, Beat Generation yang berkembang pada 1950-an tidaklah terlalu terkenal di sini. Padahal, merekalah generasi pertama yang mengekspresikan ketidakpuasan akan masyarakat Amerika dan menawarkan alternatif nilai-nilai baru.
Para sastrawan Beatniks ini tidak tinggal di menara gading. Mereka menjadikan kafe-kafe sebagai laboratorium. Mereka mendengar musik jazz dan terpangaruh olehnya. Sebaliknya, mereka juga memberi pengaruh pada perkembangan jazz moderen. Di kafe-kafe itu pula mereka membacakan puisi-puisinya. Dari kafe-kafe itulah pengaruh mereka tersebar dan mempengaruhi anak muda.
Bukan hanya Beatniks yang menjadikan kafe sebagai laboratorium sastra. Naguib Mahfouz, peraih nobel sastra dari Mesir, juga punya kafe khusus tempat dia menimba ilham dan mengendapkan ide-idenya. El Fishawi namanya. El Fishawi adalah kafe kecil yang terletak di dalam gang sempit di tengah pasar kerajinan tangan Khan Khalili di pusat kota Kairo. Di kafe berusia 200 tahun dengan cermin raksasa inilah sang sastrawan dunia itu berbincang dengan masyarakat atau para yuniornya. Di kafe itu ia bersentuhan dengan dunia.
Di pelosok Yaman, konon kabarnya, puisi dapat diteriakkan setiap saat di maqha (kafe). Jangan terkejut jika di saat minum kopi, tiba-tiba ada seorang udik yang berdiri dan membacakan puisi secara spontan yang baru dirangkainya saat ia duduk di situ. Spontanitas dalam membuat puisi memang amat dihargai di sana, dan kafe-kafe di sana siap menampung kejutan tersebut.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sayangnya, sulit untuk mendapatkan tempat bersantai sekaligus tempat yang menampung ide-ide gila dari para seniman. Di Indonesia, kafe sudah terlanjur diidentikkan dengan kelompok hedonis yang sama sekali tidak peduli dengan kesenian dan isu kebudayaan seperti itu. Kafe sudah sepenuhnya menjadi tempat bersantai yang hanya menyediakan musik atau fasilitas rileks lainnya. Segmen pasarnya juga amat jelas, anak muda dari kelompok menengah ke atas.
Sebenarnya sama sekali tidak ada yang salah dengan menjadikan kafe, pub, atau bar sebagai tempat bersantai atau tempat kongkow-kongkownya kelompok hedonis. Yang jadi masalah adalah sempitnya pilihan. Keidentikan itu membuat tidak ada yang terpikir untuk membuat suatu yang berbeda dari kafe. Akibatnya, tidak ada komunitas kebudayaan terbuka di suatu tempat yang tidak mengintimidasi.
Untungnya pada 19 Oktober lalu delapan orang dari Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) membuka Warung Apresiasi di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Dari namanya Anda tentu sudah paham untuk apa tempat ini dibuat. "Ya untuk menampung apresiasi seni dari semua pihak," kata Yoyik Lembayung, salah seorang pengelola Wapres. Di warung ini semua kegiatan kesenian mendapat tempat. Mulai dari pembacaan puisi, peluncuran novel, teater, pentas tari, monolog, musik, mendalang sampai pameran lukisan dan pemutaran film indie.
Sejak dibuka, tempat ini sudah menarik perhatian para seniman. WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sujiwo Tedjo, Harry Roesli, Rieke Diah Pitaloka, adalah di antara mereka yang pernah berapresiasi di sana. Banyaknya seniman yang tampil di sana karena selain pengelola Warung Apresiasi membuka tangan seluas-luasnya, di sana juga sudah mulai tumbuh komunitas yang sangat akrab dengan dunia kesenian.
Sejumlah seniman seperti Aria Kusuma Dewa dan Sawung Jabo kerap terlihat di sana. Mereka terkadang datang hanya untuk mampir setelah berbelanja dari Blok M Plaza, atau kebetulan lewat. Kedatangan mereka belum tentu karena untuk menghadiri acara tertentu, lebih sering justru hanya untuk bertemu dengan teman-teman lama. "Di sini mereka bisa mesan satu teh poci dan ngobrol sampai pagi," kata Anto Baret, bekas penyanyi jalanan yang kini juga ikut melatih tarung bebas bagi remaja di Gelanggang Remaja.
"Bagus tempat itu, memberi ruang untuk kreatif. Suguhan gratis bagi pengunjung dan seniman. Suatu pergaulan yang baik antara seniman dan penontonnya," kata WS Rendra yang pernah tampil di sana. Menurut Rendra, seniman mau datang ke sana karena wibawa yang dimiliki oleh Anto Baret dan warung itu sendiri. "Kalau pun ada tempat lain seperti itu, belum tentu para seniman mau tampil di sana. Para seniman mau tampil karena wibawa Anto Baret yang tidak komersiil. Dia pekerja sosial yang sebenarnya. Tidak diorganisasi oleh pihak mana pun, termasuk pemerintah."
"Saya mau tampil di sana karena saya menghargai Anto Baret dan idealismenya. Jarang orang yang konsisten dengan idealismenya. Saya bersimpati sekali. Bagi saya ia lebih penting dari presiden dan anggota DPR. Mereka mengolah modal sosial. Mereka adalah gembala masyarakat yang harus diapresiasi juga, karena lebih penting dari elite politik," kata Rendra lagi.
Selain acara kesenian yang serius, sebagaimana layaknya tempat nongkrong lainnya, Warung Arpesiasi juga menyediakan hiburan musik. "Awalnya musik apa saja dimainkan, bahkan dangdut," kata Anto. Lalu mereka berpikir, kalau begitu mereka tidak akan ada bedanya dengan kafe lainnya. Kebijakan pun diubah. Siapa saja boleh memainkan musik apa saja, asalkan lagu buatan sendiri. Reaksinya justru menggembirakan. Sejumlah band dari Jakarta atau pun luar pulau Jawa, datang untuk unjuk kebolehan di sana. Mereka membawakan musik-musik alternatif. Kreatifitas mereka pun terpacu karena diwajibkan membawa lagu ciptaan sendiri. Kuncinya, kelompok musik itu tidak membayar dan tidak dibayar.
Jangan membayangkan Warung Apresisasi ini penampakannya seperti kafe-kafe di Kemang yang elok dan mencorong. Warung Apresiasi ini sebenarnya amat sederhana, terletak di halaman Gelora Bulungan yang tak terpakai. "Ini dulunya bekas tempat sampah," kata Nurhadi yang juga terlibat di Wapres. Tempat sampah itu kemudian disulap menjadi warung dengan atap berbentuk huruf U. Panggung diletakkan di tengah, tepat di depan pintu masuk dengan kolam buatan di depannya.
Tempatnya memang amat sederhana, bahkan bukan berupa bangunan permanen. Bangunan yang terbuka itu membuat deru metro mini dan kendaraan umum yang kencang nyelonong masuk menyela suara para penyair membacakan puisi. Kesederhanaan itu juga yang membuat para pengelola enggan menyebutnya sebagai kafe. "Ini bukan kafe. Bahkan kami ingin menghilangkan kesan kafe dari tempat ini," kata Anto Baret. "Tidak ada minuman beralkohol di sini," kata pria berambut panjang itu lagi.
Harga makanan dan minuman di sini pun dibuat semurah mungkin. "Yang penting sebetulnya bukan warungnya, tapi itu," kata Anto sambil menunjuk panggung. "Bisa dikatakan warung ini ada utnuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut. Ya, untuk mengganti senar gitar yang putus setiap hari." Anto mengaku, meski tidak rugi, namun Warung Apresiasi secara bisnis juga tidak bisa dikatakan menguntungkan. Semuanya pas untuk menggaji karyawan dan membiayai kegiatan.
Saat ditanya apakah ia ingin Warung Apresiasi menjadi seperti kafe-kafe tempat Beatniks bercengkerama, Anto hanya tertawa. "Kami cuma ingin setiap kegiatan di sini menjadi berita kesenian," kata dia. Ia sadar, tak semua kegiatan di sana kemudian menjadi berita. Itu karena mereka membuka diri bagi semua hal, termasuk dari seniman-seniman muda. "Ini adalah rumah bagi semua. Siapa saja boleh datang dan tampil di sini," kata Yoyik.
Bukan hanya di dalam nyanyi . Kami telah menikmati.
Bukan hanyadalam puisi. Kami telah menjalani
Bukan hanyadalam puisi. Kami telah menjalani
Jalanan bukan sandaran, Jalanan bukan pelarian, jalanan adalah kehidupan.
Jalanan bukan impian, jalanan bukan khayalan, jalanan adalah kenyataan
Jalanan bukan impian, jalanan bukan khayalan, jalanan adalah kenyataan
21/02/08
"Wapress" Rumah bagi Semua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar