Bukan hanya di dalam nyanyi . Kami telah menikmati.
Bukan hanyadalam puisi. Kami telah menjalani
Jalanan bukan sandaran, Jalanan bukan pelarian, jalanan adalah kehidupan.
Jalanan bukan impian, jalanan bukan khayalan, jalanan adalah kenyataan

24/02/08

Anto Baret

oleh; horatio david yohanes

Menatapmu adalah,

Membuka lipatan kenangan

Senja yang kita warnai dengan merahnya cinta

Mengintip di antara celah retak hati

Bergelayutkan segala kerinduan

Menatapmu adalah,

Perjuangan panjang menghadirkan lupa

Lelaki kurus tinggi, bertopi baret berambut gondrong. Bersila di depan ratusan orang, di antara tetabuhan dan para penabuhnya. Saat aku menatapmu di atas pentas, rasanya aku ingin mengubah coretan di atas.

Menatap kerut di wajahmu,

Ada gambaran kerasnya jalanan

Menatap baret lusuh di kepalamu,

Siratkan ketegaran hati baja

Menatap tanganmu yang selalu mengepal di udara,

Aku saksikan perjuangan panjang melahirkan perlawanan

Mendengar gelegar parau suaramu,

Adalah panas semangat membara

Mendengar dendang lagumu,

Alunan kelembutan

Yang terbangun dari putihnya nurani


Anto Baret. Siapa saja yang biasa nongkrong di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta selatan pasti pernah dengar nama itu. Tidak ada yang istimewa memang dari sosoknya. Namun satu yang membuatku menaruh rasa hormat. Dialah sosok yang konsisten memperjuangkan kebenaran yang diyakini. Konsisten dengan cita-cita dan kesadaran baru. Menciptakan tatanan di jalanan; saling menghormati, saling berbagi, menebar kerukunan dan menuju satu kesatuan.


Setahun lalu saya sempat berbicara dengan Mas Anto tentang pemikirannya dan tentang Kelompok Penyanyi Jalanan (kPJ) binaannya:


Sejak kapan kesadaran muncul dalam diri Mas Anto?

Sejak awal kita di tempat ini (KPJ, -red) kita sudah memegang prinsip itu. Kita berusaha tidak mengganggu orang, tapi selama kita melakukan sesuatu yang kita yakini benar, kita juga tidak mau diganggu. Jadi memang ada filosofi hidup di jalanan, kalau benar harus berani. Kalau berani, konsekwensinya harus menang, kalau menang duduknya harus benar. Tidak boleh sewenang-wenang, tidak boleh takabur. Itu yang kita contohkan pada adik-adik kita yang ada di jalanan, bahwa kesewenang-wenangan itu satu hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.


Di sini saya bilang, di jalanan harus ada tatanan seperti hidup di tempat lain. Makanya di KPJ kita mempunyai tiga larangan yang harus ditaati. Tidak boleh melakukan tindakan kriminal, tidak boleh ribut dengan sesama saudara; persoalan kecil kita hilangkan, persoalan besar kita perkecil. Ketiga tidak boleh memakai narkoba, karena kita tahu dampaknya seperti apa. Alhamdulillah ketiga aturan itu bisa ditegakkan.


Berangkat dari filosofi itu, sehingga Mas Anto bisa eksis di Bulungan?

Ya, saya pakai itu. Jujur, saya bersyukur pada Tuhan, karena ada gerakan-gerakan naluri yang menguatkan untuk menjalani hidup di jalanan. Kalau salah kita harus minta maaf pada siapa saja. Tapi kalau benar, kita harus berani dan menang. Kalau kita benar tapi kalah, kita harus mundur dulu. Jadi memang harus disiapkan sungguh-sungguh.


Saya tidak mengenal penguasaan wilayah oleh kelompok tertentu. Semua yang hidup di jalanan adalah saudara. Dari situ kita tidak merasa ada yang kuasa, ada yang jagoan, jadi kita berjalan sesuai dengan aturan. Kalau gelanggang Bulungan ini berfungsi untuk pembinaan, jangan yang punya identitas saja yang dibina. Ini nggak adil. Justru anak-anak jalanan lebih butuh pembinaan. Karena anak jalanan butuh tatanan, butuh budi pekerti, butuh sopan santun, anak jalanan butuh orang yag memperhatikan.


Anak jalanan juga butuh kreativitas. Karena anak jalanan banyak yang bakat jadi seniman. Seperti Kuntet Mangkulangit, John Dayat, Wanda Caplin, Papa T. Bob, semua dari jalanan. Itu sudah membuktikan bahwa anak jalanan butuh wadah untuk kreativitas.


Dua puluh tahun lalu, Anto Baret menjadi sosok yang terkenal di antara orang jalanan. Kawasan Blok M, Bulungan khususnya menjadi wilayah kekuasaanya. Karena semakin besar pengaruhnya, sebuah organisasi pemuda melamarnya untuk jadi ketua wilayah Jakarta Selatan. Sebuah organisasi pemuda dengan massa besar, dekat dengan kekuasaan dan punya akses luar biasa di negeri ini. Namun Anto menolaknya. Dia memilih tetap di jalanan, bersama kawan-kawan senasib.


“Kalau mau membela, belalah yang lemah. Kalau membela yang kuat, yang kaya dan punya jabatan, sama saja nguruki gunung (menimbun gunung, -red),” katanya berfilosofi.


Akibat keputusannya, Anto dimusuhi dan menjadi target pembunuhan. Peperangan satu ke peperangan yang lain menjadi pilihan. Sampai dia masuk dalam penjara. Tapi begitu keluar, Anto masih konsisten dengan idialisme jalanannya.


Saya cuma membayangkan, jika saja Anto Baret mau bergabung dengan organisasi pemuda itu. Setidaknya dia akan punya akses politik (organisasi pemuda tersebut sempat menjadi Parpol), akses kekuasaan tentunya, kaya raya dengan menguasai tanah dan bangunan-bangunan orang. Tapi kini Anto pun mempunyai tempatnya sendiri; Kelompok Penyanyi Jalanan. Sebuah komunitas yang dibentuk, untuk memberi payung anak-anak jalanan. Untuk singgah orang-orang yang dianggap “tidak jelas”. Untuk berkumpul makhluk-makhluk yang kadang disebut: “produk sampingan pabrik besar yang bernama pembangunan”.


Jika saja ada dua atau tiga Anto Baret di setiap kota besar, maka kejahatan jalanan akan semakin hilang. Maka keamanan yang diidam-idamkan semakin nyata wujudnya. Bukan omong kosong, bukan pendekatan nyleneh yang justru menghasilkan pemberontakan dari sudut-sudut jalan.


2 mei 2007. Tepat seperempat abad eksistensi KPJ. Selamat ulang tahun KPJ, selamat ulang tahun kawan-kawan yang di jalanan. Selamat ulang tahun padamu lelaki jangkung, bertopi baret dan berambut gondrong. Sam Anto Baret.(diambil dari blog frienster horatio david yohanes)