Bukan hanya di dalam nyanyi . Kami telah menikmati.
Bukan hanyadalam puisi. Kami telah menjalani
Jalanan bukan sandaran, Jalanan bukan pelarian, jalanan adalah kehidupan.
Jalanan bukan impian, jalanan bukan khayalan, jalanan adalah kenyataan

24/02/08

Anto Baret

oleh; horatio david yohanes

Menatapmu adalah,

Membuka lipatan kenangan

Senja yang kita warnai dengan merahnya cinta

Mengintip di antara celah retak hati

Bergelayutkan segala kerinduan

Menatapmu adalah,

Perjuangan panjang menghadirkan lupa

Lelaki kurus tinggi, bertopi baret berambut gondrong. Bersila di depan ratusan orang, di antara tetabuhan dan para penabuhnya. Saat aku menatapmu di atas pentas, rasanya aku ingin mengubah coretan di atas.

Menatap kerut di wajahmu,

Ada gambaran kerasnya jalanan

Menatap baret lusuh di kepalamu,

Siratkan ketegaran hati baja

Menatap tanganmu yang selalu mengepal di udara,

Aku saksikan perjuangan panjang melahirkan perlawanan

Mendengar gelegar parau suaramu,

Adalah panas semangat membara

Mendengar dendang lagumu,

Alunan kelembutan

Yang terbangun dari putihnya nurani


Anto Baret. Siapa saja yang biasa nongkrong di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta selatan pasti pernah dengar nama itu. Tidak ada yang istimewa memang dari sosoknya. Namun satu yang membuatku menaruh rasa hormat. Dialah sosok yang konsisten memperjuangkan kebenaran yang diyakini. Konsisten dengan cita-cita dan kesadaran baru. Menciptakan tatanan di jalanan; saling menghormati, saling berbagi, menebar kerukunan dan menuju satu kesatuan.


Setahun lalu saya sempat berbicara dengan Mas Anto tentang pemikirannya dan tentang Kelompok Penyanyi Jalanan (kPJ) binaannya:


Sejak kapan kesadaran muncul dalam diri Mas Anto?

Sejak awal kita di tempat ini (KPJ, -red) kita sudah memegang prinsip itu. Kita berusaha tidak mengganggu orang, tapi selama kita melakukan sesuatu yang kita yakini benar, kita juga tidak mau diganggu. Jadi memang ada filosofi hidup di jalanan, kalau benar harus berani. Kalau berani, konsekwensinya harus menang, kalau menang duduknya harus benar. Tidak boleh sewenang-wenang, tidak boleh takabur. Itu yang kita contohkan pada adik-adik kita yang ada di jalanan, bahwa kesewenang-wenangan itu satu hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.


Di sini saya bilang, di jalanan harus ada tatanan seperti hidup di tempat lain. Makanya di KPJ kita mempunyai tiga larangan yang harus ditaati. Tidak boleh melakukan tindakan kriminal, tidak boleh ribut dengan sesama saudara; persoalan kecil kita hilangkan, persoalan besar kita perkecil. Ketiga tidak boleh memakai narkoba, karena kita tahu dampaknya seperti apa. Alhamdulillah ketiga aturan itu bisa ditegakkan.


Berangkat dari filosofi itu, sehingga Mas Anto bisa eksis di Bulungan?

Ya, saya pakai itu. Jujur, saya bersyukur pada Tuhan, karena ada gerakan-gerakan naluri yang menguatkan untuk menjalani hidup di jalanan. Kalau salah kita harus minta maaf pada siapa saja. Tapi kalau benar, kita harus berani dan menang. Kalau kita benar tapi kalah, kita harus mundur dulu. Jadi memang harus disiapkan sungguh-sungguh.


Saya tidak mengenal penguasaan wilayah oleh kelompok tertentu. Semua yang hidup di jalanan adalah saudara. Dari situ kita tidak merasa ada yang kuasa, ada yang jagoan, jadi kita berjalan sesuai dengan aturan. Kalau gelanggang Bulungan ini berfungsi untuk pembinaan, jangan yang punya identitas saja yang dibina. Ini nggak adil. Justru anak-anak jalanan lebih butuh pembinaan. Karena anak jalanan butuh tatanan, butuh budi pekerti, butuh sopan santun, anak jalanan butuh orang yag memperhatikan.


Anak jalanan juga butuh kreativitas. Karena anak jalanan banyak yang bakat jadi seniman. Seperti Kuntet Mangkulangit, John Dayat, Wanda Caplin, Papa T. Bob, semua dari jalanan. Itu sudah membuktikan bahwa anak jalanan butuh wadah untuk kreativitas.


Dua puluh tahun lalu, Anto Baret menjadi sosok yang terkenal di antara orang jalanan. Kawasan Blok M, Bulungan khususnya menjadi wilayah kekuasaanya. Karena semakin besar pengaruhnya, sebuah organisasi pemuda melamarnya untuk jadi ketua wilayah Jakarta Selatan. Sebuah organisasi pemuda dengan massa besar, dekat dengan kekuasaan dan punya akses luar biasa di negeri ini. Namun Anto menolaknya. Dia memilih tetap di jalanan, bersama kawan-kawan senasib.


“Kalau mau membela, belalah yang lemah. Kalau membela yang kuat, yang kaya dan punya jabatan, sama saja nguruki gunung (menimbun gunung, -red),” katanya berfilosofi.


Akibat keputusannya, Anto dimusuhi dan menjadi target pembunuhan. Peperangan satu ke peperangan yang lain menjadi pilihan. Sampai dia masuk dalam penjara. Tapi begitu keluar, Anto masih konsisten dengan idialisme jalanannya.


Saya cuma membayangkan, jika saja Anto Baret mau bergabung dengan organisasi pemuda itu. Setidaknya dia akan punya akses politik (organisasi pemuda tersebut sempat menjadi Parpol), akses kekuasaan tentunya, kaya raya dengan menguasai tanah dan bangunan-bangunan orang. Tapi kini Anto pun mempunyai tempatnya sendiri; Kelompok Penyanyi Jalanan. Sebuah komunitas yang dibentuk, untuk memberi payung anak-anak jalanan. Untuk singgah orang-orang yang dianggap “tidak jelas”. Untuk berkumpul makhluk-makhluk yang kadang disebut: “produk sampingan pabrik besar yang bernama pembangunan”.


Jika saja ada dua atau tiga Anto Baret di setiap kota besar, maka kejahatan jalanan akan semakin hilang. Maka keamanan yang diidam-idamkan semakin nyata wujudnya. Bukan omong kosong, bukan pendekatan nyleneh yang justru menghasilkan pemberontakan dari sudut-sudut jalan.


2 mei 2007. Tepat seperempat abad eksistensi KPJ. Selamat ulang tahun KPJ, selamat ulang tahun kawan-kawan yang di jalanan. Selamat ulang tahun padamu lelaki jangkung, bertopi baret dan berambut gondrong. Sam Anto Baret.(diambil dari blog frienster horatio david yohanes)


23/02/08

Seperempat Abad KPJ

Pada usia 25 tahun, KPJ telah membesarkan sejumlah nama.

Di panggung, lelaki berambut panjang itu duduk bersila. Sebuah baret menghias di kepala. Dia pun mulai bercerita, bernyanyi, dan tidak jarang pula berpetuah. Belasan pemain musik dan kelompok vokal menemani penampilannya di Gelanggang Remaja Bulungan, Selasa malam lalu.

Lelaki tersebut memiliki nama asli Anto S. Trisno. Namun, orang lebih mengenalnya dengan panggilan Anto Baret, nama yang pernah populer bersama Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ). Malam itu, Anto, yang menjadi ketua kelompok tersebut, tampil untuk memperingati seperempat abad KPJ. Dia membawakan 15 lagu karyanya sendiri.

Anto Baret dikenal dengan karya-karyanya yang sarat kritik sosial. Sebut saja lagunya yang berjudul Senandung Istri Seorang Bromocorah. Lagu yang dipopulerkan Iwan Fals ini menjadi bentuk protes terhadap aksi penembakan misterius (petrus) yang dilakukan oknum penegak hukum.

Sekitar 200 penonton, sebagian besar anggota KPJ, seperti tersihir sepanjang satu setengah jam penampilan Anto. Setiap lagu yang dia nyanyikan selalu disertai penjelasan: kapan diciptakan, peristiwa apa yang melatarbelakangi, dan untuk siap lagu itu dipersembahkan.

Cukup lama karya-karya Anto menghilang dari panggung tarik suara. Sebagian orang menganggap dia telah berhenti mencipta lagu. Namun, malam itu semua terjawab. Dari 15 lagu yang dinyanyikan, 10 di antaranya adalah karyanya yang terbaru. "Saya masih tetap mencipta lagu. Tapi memang belum pernah masuk dapur rekaman," kata penyanyi gaek bersuara berat ini.

Beberapa karya terbaru Anto masih menyuarakan "kemarahan". Dia memaki orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kesengsaraan yang dialami warga Sidoarjo lewat lagu Lumpur Panas Sidoarjo. Namun, sebagian besar karyanya terbarunya dipenuhi oleh renungan kebangsaan dan religius.

Pertikaian yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia menjadi keprihatinannya, yang kemudian melatarbelakangi penciptaan lagu berjudul Kabar dan Kabut Hitam Kabut Putih. Renungan tentang Sang Khalik melahirkan lagu berjudul Muntah Putih. Judul lagu ini juga yang kemudian dijadikan tajuk dalam pergelaran itu.

Acara peringatan itu digelar selama dua hari dengan diisi berbagai acara, antara lain pertunjukan musik, pameran alat-alat musik bikinan anggota KPJ, dan peluncuran buku. Pada hari kedua, Rabu lalu, dalam acara pertunjukan musik, selain anggota penyanyi jalanan se-Indonesia, tampil bintang tamu Sawung Jabo.

Komunitas ini adalah sebuah fenomena. Organisasi ini didirikan untuk melawan aksi pemerasan yang sering dilakukan para preman terhadap pengamen di Pasar Kaget (kawasan Blok M) dan Pecenongan. Tapi kemudian kelompok ini menjadi wadah para penyanyi jalanan. "Kami ingin teman-teman punya waktu untuk kumpul, berdiskusi, dan membuat lagu bersama," kata Anto.

Dari sanalah kemudian muncul nama-nama beken yang pernah hadir dalam dunia hiburan. Sebut saja misalnya Kuntet Mangkulangit, Younky R.M., dan John Dayat, yang populer pada 1990-an. Tony Q Rastafara, penyanyi yang terkenal dengan lagu-lagu reggae, pun dibesarkan oleh KPJ.

Menurut Anto Baret, KPJ tidak akan berhenti mengorbitkan anak jalanan. Bagi lelaki jebolan semester VII Institut Teknologi Negeri Malang ini, hidup di jalanan adalah perjuangan. Sebab, jalanan penuh dengan kepentingan. Karena itu, orang yang terperangkap di jalanan harus memiliki kemampuan bertahan hidup.

Dalam buku Catatan Seperempat Abad Kelompok Penyanyi Jalanan, lelaki yang usianya sudah kepala lima itu menuliskan:
Di jalanan banyak orang-orang yang dikalahkan
Di jalanan banyak orang-orang berharap pada Tuhan
Di jalanan ada orang penyebar persaudaraan
Di jalanan perjuangan hidup pantang pudar
Rukun damai hidup di jalanan

22/02/08

Awal Mula menjadi KPJ

Jakarta 1970-1982. Kala itu lokasi ngamen di Jakarta cuma ada dua, yakni di Pasar Kaget (dulu terletak di sebelah Taman Martha Tiahahu) dan di Pecenongan.

Tempat ngamen yang cuma dua lokasi itu pun, dikuasai oleh para preman yang memalak (memeras) tiap pengamen Rp4.000 per hari. Menurut Anto, angka Rp4.000 bukanlah bilangan kecil untuk kelas pengamen saat itu.

Oleh karena itu, didorong oleh keinginan terbebas dari pemerasan para preman, para pengamen bersatu membentuk organisasi bernama KPJ. Merasa sudah bersatu, akhirnya anggota KPJ pun melawan dan menolak untuk memberi upeti kepada para preman. Puncaknya, terjadilah perang masal antara anggota KPJ melawan preman yang dimenangi oleh anak-anak KPJ.

"Peperangan" itu sendiri, masih menurut Anto, bukanlah tujuan utama pembentukan KPJ. "Perang", bagi anak-anak KPJ hanyalah sebuah bentuk perlawanan terhadap penindasan.

Tujuan pokoknya adalah, menyatukan visi dan mengadakan pembinaan kreativitas para anggotanya. Atau dalam bahasa Yoyik Lembayung, penyair dan pemusik yang pernah menjadi Ketua KPJ periode 1982-1983, spirit dibentuknya KPJ adalah agar para penyanyi jalanan itu tak hanyut dalam rutinitas. Malam ngamen, siang tidur. "Kita ingin teman-teman punya waktu untuk kumpul, berdiskusi, membuat lagu bersama. Kira-kira, kita ingin punya iklim workshop. Dari sana kemudian muncul berbagai gagasan. Bikin Pentas Musik Kaki Lima, Aksi Ngamen, dan seterusnya," ujar Yoyik.

Munculnya KPJ Jakarta, imbuh Yoyik, akhirnya menjadi inspirasi terbentuknya KPJ di daerah. Satu demi satu KPJ di daerah muncul. Mulai dari Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan meluas ke luar Jawa. Kini, jumlah anggota KPJ mulai dari Aceh hingga Palu mendekati angka 100.000 orang. Jumlah massa yang besar inilah yang suka bikin ngiler para politikus, terutama saat musim kampanye seperti Pemilu Wakil Rakyat maupun Pemilu presiden tahun lalu. Untungnya, kata Anto, anak-anak KPJ sudah memiliki kesadaran bahwa mereka tak mau dijadikan alat. Jadi, jika pemilu kemarin ada politikus yang memberikan bantuan alat sound-system, tak berarti anak-anak KPJ akan memilihnya.

* * *
Ngamen, mbarang, adalah sebuah terminologi yang menunjuk pada sebuah profesi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan imbalan dengan menyanyi, baca puisi, main musik, menari, dan seterusnya. Mereka bergerak bisa dari rumah ke rumah, warung ke warung, di dalam bus, dan sebagainya.




Ada empat motivasi mengapa seseorang ngamen, ucap Anto Baret. Yang pertama adalah untuk karier, kemudian untuk batu loncatan, iseng, dan profesi.

Mereka yang ngamen untuk karier, lanjut Anto, adalah pengamen yang datang dari daerah dengan membawa serta karya-karya sendiri. Malam ngamen, siangnya menawarkan karya-karyanya ke produser. Untuk jenis yang ini, beberapa nama telah muncul. Sebutlah, Kuntet Mangkulangit, Younky RM, John Dayat, dan lain-lain.

Adapun ngamen sebagai batu loncatan menurut Anto, adalah mereka yang datang dari daerah ke Jakarta untuk mencari kerja. Sebelum mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan, untuk mengisi perut mereka mengamen. Malam ngamen, siangnya memasukkan lamaran ke perusahaan.

Sedangkan mereka yang ngamen karena iseng biasanya anak-anak sekolah atau mahasiswa untuk mengisi waktu luang atau sekedar mencari "uang rokok".

Jenis keempat, adalah mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari ngamen. Misalnya, bapak-bapak yang ngamen dengan sitar, dan seterusnya.

Nah, empat jenis pengamen itulah yang dari dulu hingga kini berkumpul di KPJ yang bermarkas di Bulungan, tepatnya di area Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.

Pembinaan, itulah substansi didirikannya KPJ. Maklumlah, di dalamnya berkumpul orang-orang yang biasa bergerak di jalanan yang identik dengan hidup bebas dan keras.

Itulah soal, Anto Baret tak setuju kalau yang dibina cuma yang identitasnya jelas saja (anak-anak sekolah, mahasiswa, misalnya). "Justru yang gak jelas itulah yang sangat perlu dibina. Logikanya, anak yang hidup bersama orang tuanya saja bisa nakal, apalagi mereka yang jauh dari pengawasan orang tua. Kalau gak dibina bisa liar," papar Anto.

Maka, KPJ pun kemudian membuat tatanan pembinaan budi pekerti dan sopan santun. Hasilnya, jika Anda datang ke Bulungan, maka tradisi bersalaman jika berjumpa dan berpisah dengan seorang kawan adalah hal yang lumrah terjadi.

Kata Anto, hidup di jalanan yang keras itu harus rukun, karena mereka adalah senasib. Adapun bersalaman, adalah upaya untuk selalu menyambung tali silaturahmi dan perwujudan rasa syukur. "Syukur kita diberi kesehatan, syukur masih bisa bertemu," terang Anto.

Di samping itu, bersalaman juga dipercaya oleh orang-orang KPJ bisa menimbulkan kedekatan psikologis antar anggota KPJ. Tentu, di luar bersalaman, ada juga etik lain yang dibangun. Misalnya, mereka yang lebih tua harus siap menjadi kakak bagi yang lebih muda. Mereka yang skill musiknya bagus, mesti mau mengajari kepada mereka yang masih belajar. Kemudian, untuk menambah wawasan, KPJ juga mewajibkan anggota-anggotanya untuk membaca koran. "Kalau ada yang nggak ngerti dengan isi berita, kita bicarakan.

* * *
Tahun 1987, terbetiklah ide untuk menjadikan jalanan bukan hanya sebagai media ekspresi, tetapi juga media bisnis. Mulailah mereka mendirikan agen minuman ringan, agen es balok, buka warung ayam bakar Gantari. "Yang penting tidak merugikan orang lain," tegas Anto tentang media bisnis yang dikelola KPJ.

Sedangkan untuk media ekspresi, KPJ membuat agenda acara berupa pertemuan seminggu sekali untuk berdiskusi, menggelar panggung terbuka tiap ultah KPJ dan peringatan 17 Agustus. Media ekspresi yang paling belakangan, adalah pendirian warung apresiasi atau biasa disebut Wapress sekitar tiga tahun lalu. Di Wapress inilah, tiap malam warga KPJ maupun seniman dari luar komunitas KPJ berekspresi dalam bidang kesenian. Mulai seni musik, tari, teater, sastra, wayang, gambus.

Soal Wapress ini Anto Baret berkomentar, "Wapress bukanlah warung untuk mencari untung. Tujuan utamanya adalah sebagai media ekspresi siapa saja yang mampir di warung ini. Anda gak bakal diusir meski dari buka (jam 18.00 WIB) sampai tutup (00.00 WIB) cuma memesan satu gelas kopi."

Hari berganti bulan dan tahun, dua media itu ternyata berkembang pesat. Agar roda organisasi dapat berjalan lancar dan seminimal mungkin menghadapi persoalan, maka dibuatlah beberapa peraturan yang oleh Anto Baret disebut sebagai Tiga Larangan.

Larangan pertama, tidak boleh melakukan tindak kriminal. Kedua, tidak boleh ribut sesama teman. Ketiga, tidak boleh nyuntik (narkoba).
Sebagai organisasi yang mengayomi "anak-anak jalanan", tentu saja KPJ juga memperhatikan mereka yang tidak berminat di bidang musik. Nah, mereka yang tertarik di bidang olah raga pun diperhatikan oleh KPJ. Maka berdirilah Bulungan Boxing Camp, sebuah sasana tinju yang sudah mengantarkan Untung Ortega sebagai juara PABA di tahun 2004. Di samping itu, ada juga kelompok petarung jalanan yang beberapa waktu lalu disertakan dalam arena pertarungan bebas di sebuah televisi swasta.

KPJ, memang cuma organisasi "anak-anak jalanan" yang rancangan program kerjanya secara administratif amat jauh dari organisasi-organisasi dengan nama-nama mentereng. Tapi siapa sangka, dengan kepolosan dan ketulusan para anggotanya, organisasi dengan anggota puluhan ribu orang itu bisa berjalan hingga 23 tahun.

Barangkali, lantaran mereka tak disibukkan oleh cita-cita yang muluk-muluk. Cukup dengan empat motto, "Pikirkan, rasakan, ucapkan, kerjakan", roda organisasi mereka menggelinding. Hingga kini.

21/02/08

"Wapress" Rumah bagi Semua

Underwear is something we all have to deal with

Everyone wear somekind of underwear
Even Indians wear underwear
Even Cubans wear undeerwear
The Pope wears underwear, I hope
The governor of Lousiana wears underwear
I saw him on tv
He must have had tight underwear
He squirmed a lot

Puisi berjudul Underwewar yang lucu dan sedikit kasar itu dibacakan oleh Lawrence Ferlinghetti di sebuah kafe di Greenwich Village, New York, pada 1958. Ferlinghetti adalah salah seorang sastrawan Beat Generation atau yang dikenal dengan Beatniks. Jack Kerouac dan Allen Ginsberg adalah sastrawan Beatniks lainnya.

Tidak seperti gerakan pemberontakan generasi muda Amerika yang diwakili oleh hippies pada dasawarsa 1960-an, Beat Generation yang berkembang pada 1950-an tidaklah terlalu terkenal di sini. Padahal, merekalah generasi pertama yang mengekspresikan ketidakpuasan akan masyarakat Amerika dan menawarkan alternatif nilai-nilai baru.

Para sastrawan Beatniks ini tidak tinggal di menara gading. Mereka menjadikan kafe-kafe sebagai laboratorium. Mereka mendengar musik jazz dan terpangaruh olehnya. Sebaliknya, mereka juga memberi pengaruh pada perkembangan jazz moderen. Di kafe-kafe itu pula mereka membacakan puisi-puisinya. Dari kafe-kafe itulah pengaruh mereka tersebar dan mempengaruhi anak muda.

Bukan hanya Beatniks yang menjadikan kafe sebagai laboratorium sastra. Naguib Mahfouz, peraih nobel sastra dari Mesir, juga punya kafe khusus tempat dia menimba ilham dan mengendapkan ide-idenya. El Fishawi namanya. El Fishawi adalah kafe kecil yang terletak di dalam gang sempit di tengah pasar kerajinan tangan Khan Khalili di pusat kota Kairo. Di kafe berusia 200 tahun dengan cermin raksasa inilah sang sastrawan dunia itu berbincang dengan masyarakat atau para yuniornya. Di kafe itu ia bersentuhan dengan dunia.

Di pelosok Yaman, konon kabarnya, puisi dapat diteriakkan setiap saat di maqha (kafe). Jangan terkejut jika di saat minum kopi, tiba-tiba ada seorang udik yang berdiri dan membacakan puisi secara spontan yang baru dirangkainya saat ia duduk di situ. Spontanitas dalam membuat puisi memang amat dihargai di sana, dan kafe-kafe di sana siap menampung kejutan tersebut.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sayangnya, sulit untuk mendapatkan tempat bersantai sekaligus tempat yang menampung ide-ide gila dari para seniman. Di Indonesia, kafe sudah terlanjur diidentikkan dengan kelompok hedonis yang sama sekali tidak peduli dengan kesenian dan isu kebudayaan seperti itu. Kafe sudah sepenuhnya menjadi tempat bersantai yang hanya menyediakan musik atau fasilitas rileks lainnya. Segmen pasarnya juga amat jelas, anak muda dari kelompok menengah ke atas.

Sebenarnya sama sekali tidak ada yang salah dengan menjadikan kafe, pub, atau bar sebagai tempat bersantai atau tempat kongkow-kongkownya kelompok hedonis. Yang jadi masalah adalah sempitnya pilihan. Keidentikan itu membuat tidak ada yang terpikir untuk membuat suatu yang berbeda dari kafe. Akibatnya, tidak ada komunitas kebudayaan terbuka di suatu tempat yang tidak mengintimidasi.

Untungnya pada 19 Oktober lalu delapan orang dari Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) membuka Warung Apresiasi di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Dari namanya Anda tentu sudah paham untuk apa tempat ini dibuat. "Ya untuk menampung apresiasi seni dari semua pihak," kata Yoyik Lembayung, salah seorang pengelola Wapres. Di warung ini semua kegiatan kesenian mendapat tempat. Mulai dari pembacaan puisi, peluncuran novel, teater, pentas tari, monolog, musik, mendalang sampai pameran lukisan dan pemutaran film indie.

Sejak dibuka, tempat ini sudah menarik perhatian para seniman. WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sujiwo Tedjo, Harry Roesli, Rieke Diah Pitaloka, adalah di antara mereka yang pernah berapresiasi di sana. Banyaknya seniman yang tampil di sana karena selain pengelola Warung Apresiasi membuka tangan seluas-luasnya, di sana juga sudah mulai tumbuh komunitas yang sangat akrab dengan dunia kesenian.

Sejumlah seniman seperti Aria Kusuma Dewa dan Sawung Jabo kerap terlihat di sana. Mereka terkadang datang hanya untuk mampir setelah berbelanja dari Blok M Plaza, atau kebetulan lewat. Kedatangan mereka belum tentu karena untuk menghadiri acara tertentu, lebih sering justru hanya untuk bertemu dengan teman-teman lama. "Di sini mereka bisa mesan satu teh poci dan ngobrol sampai pagi," kata Anto Baret, bekas penyanyi jalanan yang kini juga ikut melatih tarung bebas bagi remaja di Gelanggang Remaja.

"Bagus tempat itu, memberi ruang untuk kreatif. Suguhan gratis bagi pengunjung dan seniman. Suatu pergaulan yang baik antara seniman dan penontonnya," kata WS Rendra yang pernah tampil di sana. Menurut Rendra, seniman mau datang ke sana karena wibawa yang dimiliki oleh Anto Baret dan warung itu sendiri. "Kalau pun ada tempat lain seperti itu, belum tentu para seniman mau tampil di sana. Para seniman mau tampil karena wibawa Anto Baret yang tidak komersiil. Dia pekerja sosial yang sebenarnya. Tidak diorganisasi oleh pihak mana pun, termasuk pemerintah."

"Saya mau tampil di sana karena saya menghargai Anto Baret dan idealismenya. Jarang orang yang konsisten dengan idealismenya. Saya bersimpati sekali. Bagi saya ia lebih penting dari presiden dan anggota DPR. Mereka mengolah modal sosial. Mereka adalah gembala masyarakat yang harus diapresiasi juga, karena lebih penting dari elite politik," kata Rendra lagi.

Selain acara kesenian yang serius, sebagaimana layaknya tempat nongkrong lainnya, Warung Arpesiasi juga menyediakan hiburan musik. "Awalnya musik apa saja dimainkan, bahkan dangdut," kata Anto. Lalu mereka berpikir, kalau begitu mereka tidak akan ada bedanya dengan kafe lainnya. Kebijakan pun diubah. Siapa saja boleh memainkan musik apa saja, asalkan lagu buatan sendiri. Reaksinya justru menggembirakan. Sejumlah band dari Jakarta atau pun luar pulau Jawa, datang untuk unjuk kebolehan di sana. Mereka membawakan musik-musik alternatif. Kreatifitas mereka pun terpacu karena diwajibkan membawa lagu ciptaan sendiri. Kuncinya, kelompok musik itu tidak membayar dan tidak dibayar.

Jangan membayangkan Warung Apresisasi ini penampakannya seperti kafe-kafe di Kemang yang elok dan mencorong. Warung Apresiasi ini sebenarnya amat sederhana, terletak di halaman Gelora Bulungan yang tak terpakai. "Ini dulunya bekas tempat sampah," kata Nurhadi yang juga terlibat di Wapres. Tempat sampah itu kemudian disulap menjadi warung dengan atap berbentuk huruf U. Panggung diletakkan di tengah, tepat di depan pintu masuk dengan kolam buatan di depannya.

Tempatnya memang amat sederhana, bahkan bukan berupa bangunan permanen. Bangunan yang terbuka itu membuat deru metro mini dan kendaraan umum yang kencang nyelonong masuk menyela suara para penyair membacakan puisi. Kesederhanaan itu juga yang membuat para pengelola enggan menyebutnya sebagai kafe. "Ini bukan kafe. Bahkan kami ingin menghilangkan kesan kafe dari tempat ini," kata Anto Baret. "Tidak ada minuman beralkohol di sini," kata pria berambut panjang itu lagi.

Harga makanan dan minuman di sini pun dibuat semurah mungkin. "Yang penting sebetulnya bukan warungnya, tapi itu," kata Anto sambil menunjuk panggung. "Bisa dikatakan warung ini ada utnuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut. Ya, untuk mengganti senar gitar yang putus setiap hari." Anto mengaku, meski tidak rugi, namun Warung Apresiasi secara bisnis juga tidak bisa dikatakan menguntungkan. Semuanya pas untuk menggaji karyawan dan membiayai kegiatan.

Saat ditanya apakah ia ingin Warung Apresiasi menjadi seperti kafe-kafe tempat Beatniks bercengkerama, Anto hanya tertawa. "Kami cuma ingin setiap kegiatan di sini menjadi berita kesenian," kata dia. Ia sadar, tak semua kegiatan di sana kemudian menjadi berita. Itu karena mereka membuka diri bagi semua hal, termasuk dari seniman-seniman muda. "Ini adalah rumah bagi semua. Siapa saja boleh datang dan tampil di sini," kata Yoyik.